Jumat, 18 Februari 2011

makalah filsafat islam


                                 AL GHOZALI

Makalah ini dibuat sebagai bahan diskusi kelas Dalam mata kuliah
“ Filsafat Islam”
stai.bmp



                                                     







Disusun Oleh :
M. Arif Nurul Huda
NIM: 08.1. 209
Dosen Pembimbing:
Dra. Halimah Sa’diyah

Tarbiyah (PAI)
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
AL-HIKMAH JAKARTA
STATUS : TERAKREDITASI NO. 036/BAN-PT/Ak-VII/S.1/X/2003
     Jl. Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan 12560.
Tlp. Fax. (021) 7890521
2009


BAB I
PENDAHULUAN
                                                                   

A.    Latar Belakang
Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, kata philos berarti cinta, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan. Jadi, philosophia berarti mencintai kebijaksanaan (love of wisdom). Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut “filsuf” atau “filosof”, artinya pecinta kebijaksanaan.
Kita sebagai orang Islam sebaiknya tahu tentang Islam, bahwa Islam sendiri telah menggunakan pemikiran-pemikiran para filsuf untuk membuktikan Islam sebagai agama yang rasional. Banyak tokoh-tokoh filsafat Islam diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Razy, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Bajjah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd, dan filsuf-filsuf setelah Ibn Rusyd.
Dengan pemaparan dari makalah ini kami akan membahas tentang Al-Ghazali, yang mana ia adalah salah satu tokoh filsuf Islam yang terkenal di kalangan orang muslim maupun non-muslim.
      B. Tujuan Pembahasan

            Setelah teman-teman mahasiswa membaca, mempelajari dan mendiskusikan makalah ini diharapkan mahahasiswa mendapatkan wawasan yang lebih luas sehingga menambah intelektualitas sebagai seorang mahasiswa yang notabenenya jurusan Tarbiyah (prodi PAI).





BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI AL-GHAZALI
            Nama lengkapnya Abu Hamid  ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjah al-Islam. Lahir di Thus, Khurasan, Iran 450 H (1056 M). Ayahnya hidup sangar sederhana sebagai seorang pemintal benang, tapi, semangat keagamaannya sangat tinggi terlihat dari simpatiknya pada Ulama’ dan berharap anaknya bisa menjadi seorang Ulama’ ketika ayahnya mendekati wafatnya beliau menitipkan al-Ghazali dan saudaranya , Ahamad yang waktu itu maih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapat didikan dan bimbingan kira-kira sampai usia 15 tahun (450-465 H).
            Ketika sang sufi sudah tak sanggup lagi untuk menhidupi keduanya, ia meminta untuk dimasukan ke sekolah selain untuk mendapatkan ilu pengetahuan juga untuk mendapatkan santunan kehidupan (465-470 H), al-Ghazali belajar ilmu fikih dan ilmu dasar dari Ahmad al-Radzkanidi Thus, dan Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan. Ia kembali ke tanah kelahirannya dan mengkaji ulang pelajarannya selama 3 tahun dan belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nassaj. Pada tahun 473 H, ia pergi ke Naishabur untuk belajar di Al-Nizhamiyah disinilah ia bertemu dengan al-Juwaini sebagai tenaga pengajar. Dari al-Juwaini ia belajar ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abd Ghaffar ibn Ismal al-Farisi, al-Ghazali menjadi pembahas yang paling pintar di zamannya dan menimbulkan rasa iri pada Imam Haramain tapi itu disembunyikannya. Namun disisi lain sangat bangga dengan prestasi al-Ghazali, dan tetap setia pada gurunya walupun kemasyhuran telah ia raih. Sebelum al-Juwaini wafat al-Ghazali diperkenalkan pada Nizamul Muluk pendiri an-Nizhamiyah. Di Naishabur al-Ghazali belajar tasawuf pada Abu ‘Ali al-Fadhl ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Farmadzi.
            Setelah gurunya wafat al-Ghazali pergi menemui Nizham al-Muluk dan disana ia diberi kesempatan berdebat dengan Ulama’-ulama disana dan ia memenangkan perdebatan itu hingga akhirnya melambungkan namanya semakin popular. Pada tahun 484 H (1091 M) diangkat sebagai guru di sekolah Nizhamiah ini dijelaskan dalam bukunya Al-Munqiz min al-Dhalal. Selama mengajar disekolah ini ia mendalami ilmu filsafat secara otodidak, terutama pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Maskawaih dan Ikhwan al-Shafa’. Penguasaannnya terhadap filsafat terbukti dengan karyanya, Al-Maqasid al-Falsafah dan Tahafut Falasifah.
            Pada tahun 484 H (1095) Al-Ghazali dilanda kekacauan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang ia pelajari (hukum, teologi dan filsafat), kegunaan pekerjaannya, dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama 2 bulan. Karena itu, ia tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia  meninggalkan Baghdad dan pergi ke Damaskus disinilah ia melakukan uzlah, riyadhah dan mujahadah. Kemudian ia pergi ke Bait al-Maqdis, Palertina untuk melakukan ibadah serupa, setelah itu ia menulaikan haji dan menziarahi makam Rasulullah, sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi tanah kelahirannya, Thus; dalam keadaan skeptisnya selama 10 tahun ia berhasil menulis karya terbesarnya Ihya’ Ulum al-Din.
            Al-Ghazali kembali mengajar di Nizhamiyah karena desakan penguasa Saljuk namun hanya bertahan 2 tahun lalu ia kembali ke  Thus dan mendirikan sekolah bagi para fuqaha dan zawiyah atau hanaqoh untuk mutasawwifin.[1]

B. FILSAFATNYA
      1.   Alam Qadim (tidak bermula)
            Sebelum kita lanjutkan, alangkah baiknya jika kita artikan terlebih dahulu terma "qadim" dan "hadis" di atas. Qadim berarti sesuatu yang tidak didahului ketiadaan, misalnya adalah Allah karena Allah tidak didahului oleh ketiadaan sama sekali. Hadis adalah sesuatu yang wujudnya didahului ketiadaan, misalnya adalah manusia karena sebelum adanya manusia di dahului ketiadaan alias tidak ada. Pengertian secara bahasa ini harus disepakati dulu sehingga tidak ada nanti yang mencoba-coba untuk mengartikan qadim maupun hadis sesuka hatinya.[2]
            Pendapat bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula atau tidak pernah tidak ada dimasa lampau, tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan “pencipta” adalah yang menciptakan ssesuatu dari tiada (creation ex nihilio). Kalau alam (dalam arti segala yang ada selain Tuhan) dikatakan qadim, tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan dalam al-Qur’an disebut bahwa Tuhan adalah pencipta segala ssuatu. Menurut al-Ghazali tidak ada orang Islam yang menganut paham bahwa alam itu tidak bermula, alam haruslah hadits (bermula). Karena itu tidak mengherankan kalau dalam teologi Islam, syahadat laa ilaha illallah bergeser menjadi laa qadima illallah. Jadi paham adanya yang qadim dari yang selain Tuhan, bias membawa kepada: (1) banyaknya yang qadim, banyaknya Tuhan, yaitu paham syirik, sdangkan syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau (2) paham atheism; bahwa alam yang qadim tidak perlu ada pencipta. Jelalah bahwa kedua paham ini bertentangan dengan ajaran dasar dan mutlak dalak Islam.[3]
Menurut Dr Taha Hubaisyi, Profesor Akidah dan Filsafat Al-Azhar, para filosof Islam semisal Al-Kindi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi, dengan mengikuti pendapat filosof Yunani, mengataan bahwa alam ini qadim. Mereka berpegangan dengan konsep "Sebab Musabab" (Al-'Illat wa Al-Ma'lul), yaitu di mana Allah adalah "Sebab Pertama" dan alam adalah "Musabab Pertama".
Baik Allah maupun alam harus bersifat qadim secara bersamaan karena Sebab dan Musabab tidak bisa dipisahkan dan harus selalu berkaitan. Oleh karenanya, adanya Allah harus mengadakan alam juga, dan qadim-nya Allah harus meng-qadim-kan alam juga. Ini (kesalahan) menurut mereka.
Untuk menjawab pendapat batil ini, kita katakan bahwa konsep Illat tidak ada dan tidak benar jika dikaitkan dengan Islam. Akan tetapi, yang benar adalah konsep Allah sebagai Zat yang Maha Berbuat Sekehendak-Nya atau Fa'al lima Yurid (Hud: 107). Allah bisa saja dan bahkan maha bisa untuk menciptakan alam, atau malah sebaliknya untuk tidak menciptakannya, karena Allah Maha Berkehendak.
Adalah kesalahan besar jika dikatakan bahwa, karena Allah adalah illat, Ia harus mengadakan alam sebagai ma'lul-nya. Meskipun kaum filosof mengatakan bahwa alam adalah qadim, tapi mereka tetap berkeyakinan bahwa elemen-elemen di dalamnya adalah hadis.
Ada juga yang hampir serupa dengan pendapat kaum filosof, yaitu dari Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, di mana Syekhul Islam mengatakan bahwa alam adalah "Qadim Jenis" (qadim nau'iy) dengan tetap elemen-elemen di dalamnya adalah hadis (seperti para filosof meskipun ada perubahan sedikit).
Hal ini disebabkan bahwa Allah mempunyai sifat perbuatan seperti pemberi rizki, pencipta, dan lain-lain. Sifat ini harus sempurna dan tidak boleh digambarkan pernah "terputus" dalam perbuatannya dalam sekejap pun. Jika alam dikatakan hadis, ini artinya pekerjaan Allah mencipta alam pernah dilalui zaman di mana perbuatan menciptanya terputus.
Artian seperti ini tentunya sangatlah tidak benar (menurutnya). Jika begitu, maka yang benar adalah perkataan sebaliknya, yaitu alam adalah qadim tapi dengan jenis qadim tertentu yang tidak seperti qadimnya Allah. Demikian pendapat Syekhul Islam yang bisa dikatakan telah menyimpang ini.
Untuk menjawab pendapat ini, kita katakan bahwa kesempurnaan sifat perbuatan Allah tidak harus berarti proses "terjadinya" perbuatan tersebut secara terus menerus tanpa ada keterputusan zaman, akan tetapi kesempurnaan sifat ini bisa berarti "kemampuan" dalam melakukan perbuatan tersebut secara permanen tanpa ada kecacatan sedikit pun.
Sebagai penutup, kami hadirkan ayat pamungkas yang agung dan mulia yang berbunyi: Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya (Al-Syura: 11). Ayat ini berarti bahwa Allah mutlak berbeda dari apapun selain Zatnya. Ketika Allah adalah disebut sebagai Sang Khalik, maka seluruh makhluknya tidak ada yang menyerupai-Nya secara mutlak, dan alam adalah termasuk makhluk-Nya, dengan dalil: Sesungguhnya di dalam penciptaan langit-langit dan bumi itu...dan seterusnya (Al-Baqarah: 164).
Maka, jika Sang Khalik adalah Al-Awwal, yaitu yang tidak ada sebelumnya segala sesuatu (makna Al-Qadim), tidak boleh dikatakan bagi alam, yaitu satu dari banyak makhluk-Nya, kecuali bahwa alam adalah hadis. Bagi sesiapa saja yang mengatakan alam ini qadim apapun itu qadimnya, maka bisa dipastikan ia telah keluar dari jalur rumusan akidah yang benar.[4]

      2.   Pengetahuan Tuhan tentang Juziyat (particular)
            Tentang ilmu Tuhan, golonga filusuf berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kecil kecuali dengan cara yang umum (kulliyat, universal). Pengetahuan universal tidaklah tunduk, seperti pengetahuan “particular”, kepada pembatasan ruang dan waktu. Karena itu Tuhan mengetahui sesuatu peristiwa (katakanlah gerhana matahari) sebelu atau sesudah kejadiannya, secara serentak. Karena Ia mengetahu secara apriori rangkaian sebab-sebab darimana ia ada akhirnya akan berhenti. Dikehendaki oleh para filusuf dengan pemahaman bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara umum (kulliyat) adalah bahwa ilmu-Nya yang juga adalah dzat-Nya bersifat kekal (qadim), tetap, dan tidak berubah dengan perubahan yang terjadi pada objek-objek diluar zat Tuhan. Hal ini dimaksudkan untuk menyucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat merongrong kukuasaan-Nya.
            Menurut al-Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi perubahan pada tambahan atau sifat tambahan tersebut, zat Tuhan tetap[ dalam keadaannya, seunpama kalau ada orang berdiri di sebelah kiri kita kemudian ia berpindah kesebelah kanan kita, sebenarnya orang itulah yang berubah bukan kita. Selanjutnya al-Ghazali menyangkal kalau perubahan ilmu dapat menimbulkan suatu perubahan pada “zat yang mengetahui”, apakah berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat Tuhan?. Disamping itu al Ghazali melandaskan pendapatnya bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat, jelas bertentangan dengan nash ayat-ayat al-Qur’an,seperti:
      Q.S. al-Hujurat 49:16
            “….. padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."[5]

      3.   Kebangkitan Jasmani
Menurut kaum filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akherat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Menurut Al-Ghazali yang akan, dibangkitkan di akherat adalah jasmani dan rohani. Para filosof muslim berpendapat, bahwa mustahil untuk mengembalikan rohani kepada jasmani. Menurut mereka, setelah rohani berpisah dengan jasmani berarti kehidupan telah berakhir dan jasmani hancur. Akherat merupakan lawan dari dunia dan yang berbentuk materi, berarti akherat bentuk rohaninya.
Akan tetapi jika menanggapi pernyataan Al-Ghazali, para filosof menyatakan jika ada kebangkitan jasmani, maka akan menempuh jalan yang sulit dan proses yang panjang. Sementara menurut Al-Ghazali sendiri, kebangkitan jasmani di akherat berarti dikembalikannya rohani pada jasmani, dan tidaklah sulit bagi Allah untuk melakukan hal ini. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu. Dalam menyanggah pendapat filosof muslim, Al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstual al-Qur’an. Sedangkan para filosof muslim, dalam memahami nash lebih cenderung pada arti metafora atau menggunakan rasio dan pemikiran filosof muslim merupakan pemikiran yang bersifat rasional.[6]
            Mengenai kebangkitan di akhirat, para filusuf memandangnya bersifat rohaniyah, dan terbebas dari unsur-unsur kebendaan. Hal ini karena masalah kerohanian adalah lebih tinggi nilainya, demikian pula yang berkaitan dengan kelezatan dan siksaan di akhirat bersifat lebih tinggi atau dahsyat. Sebab itu, tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat jasmani.
            Inti jawaban al-Ghazali didasarkan atas sifat kemahakuasaan  Tuhan, bahwa Tuhan mampu menciptakan segala sesuatu dari tiada. Karena itu, Ia pun mampu membangkitkan kembali tubuh dan tulang belulang manusia yang telah hancur menjadi tanah kedalam bentuk semula. Al-Ghazali juga melandasi pikirannya pada firman Allah SWT:
Q.S.Yasin 36: 78-79
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ(78)قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
Dia membuat perumpamaan bagi kami, dan dia lupa kepada kejadiannya. Dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah, “Dia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali pertama. Dia Mahatahu tentang segala makhluk-Nya.” (QS Yasin [36]: 78-79).
            Dari uraian diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa yang dikehendaki para filusuf adalah kemungkinan yang rasional tentang kebangkitan dan kehidupan di akhirat. Para filusuf fdan al-Ghazali sama-sama meyakini adanya “kebangkitan” di akhirat. Pebedaanya hanya pada bentuk dan bagaimana kebangkitan itu. Bagi para filusuf secara rohaniah sedang menurut al-Ghazali jasmaniah dan rohaniah.[7]

















BAB III
PENUTUP

          Kesimpulan
                        Pada bagian khatimah, al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah : kekadiman alam, Allah tidak mengetahui yang kecil-kecil (juz'iyyat) dan pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad pada hari kiamat. Keputusan ini dipaparkan tidak lebih dari satu halaman. Dalam masalah-masalah ini katanya adalah “jelas kekufurannya yang tidak satu golongan-pun dari umat Islam menganutnya.” Adapun masalah-masalah lain yang membahas tentang sifat-sifat Ilahi, akidah tauhid dan kemestian sebab-akibat maka mereka itu lebih dekat kepada pembawa bid'ah. Penutup kitabnya: “Maka barangsiapa yang berpendapat bahwa pembawa bid'ah dari golongan Islam itu kafir maka mereka itu juga kafir dan jika mereka menahan diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya hanya terbatas pada masalah-masalah ini saja.”
      Daftar Dustaka
Dr. Hasyimsyah Nasutiion,M.A. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
http://agushidayat89.blogspot.com, di download Senin, 31 Mei 2010
http://mujibabdurrahman.blogspot.com, di download Senin, 31 Mei 2010


       [1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), cet. IV, hal. 77
       [2] http://mujibabdurrahman.blogspot.com, di download Senin, 31 Mei 2010
       [3] Hasyimsyah Nasution op.cit., hal. 84
       [4] http://mujibabdurrahman.blogspot.com,op. cit
       [5] Hasyimsyah Nasution op.cit., hal. 85
       [6] http://agushidayat89.blogspot.com, di download Senin, 31 Mei 2010
       [7] Hasyimsyah Nasution op.cit., hal. 86

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus

TULIS PESAN ANDA DISINI, THANK'S...