Jumat, 18 Februari 2011

nativisme, empirisme dan konvergensi


“Nativisme, Empirisme dan Konfergensi”

Makalah Ini Dibuat Sebagai Bahan Diskusi Kelas Dalam Mata Kuliah
“Filsafat Pendidikan”
stai.bmp                                                                                                 










Disusun Oleh :
M. Arif Nurul Huda
NIM: 08.1. 209
Fitria Nur Ulfa
NIM: 09.1.
Dosen Pembimbing:
Drs. HM. Alisuf Sabri


Tarbiyah (PAI)
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
AL-HIKMAH JAKARTA
STATUS : TERAKREDITASI NO. 036/BAN-PT/Ak-VII/S.1/X/2003
     Jl. Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan 12560.
Tlp. Fax. (021) 7890521
2010
 BAB I
PENDAHULUAN

         1. Latar Belakang
            Aliran-aliran pendidikan telah dimaulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalm kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai kini. Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah aliran empirisme, nativisme, dan konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

2. Tujuan Pembahasan
            Setelah teman teman mahasiswa mempelajari dan mendiskusikan makalah ini diharapkan mampu; 1) Mengetahui pengertian tentang aliran empirisme, nativisme, dan konvergensi 2) Memahami dan menyimpulkan aliran empirisme, nativisme, dan konvergensi.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Narivisme (pembawaan)
            ‘Pembawaan adalah potensi-potensi yang dibawa setiap individu ketika lahir yang merupakan warisan dari orang tua’. Para ahli yang beraliran Nativisme nerpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh unsur pembawaan. Jadi perkembangan individu semata-mata tergantung kepada faktor dasar/pembawaan.[1]                
            Aliran Nativisme dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1778-1860), dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa bakat mempunyai peranan yang penting. Ridak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelek. Sehingga pendidikan diumpamakan ‘merubah emas jadi perak’ jadi suatu hal yang tidak mungkin.
            Dengan demikian faktor lingkungan atau pendidikan menurut aliran ini tidak bisa berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang. Dalam pendidikan ilmu aliran inidikenal sesbagai aliran pedagogik pesivisme yaitu pendidikan yang tidak dapat dipengaruhi perkembangan anak ke arah kedewasaan yang dikehendaki oleh pendidik.[2]
            Para ahli yang mengikuti pendirian ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang Tua dan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka kemungkinannya adalah besar anaknya juga akan menjadi ahli musik, jika orang tua ahli melukis maka besar kemungkinan anaknyapun ahli dalam melukis.[3] Mungkin penyusun disini bisa mengibaratkan seperti ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’.
B. Empirisme (lingkungan)
            ‘Lingkungan sering diartikan orang secara sempit dengan alam sekitar. Dalam psikologi, lingkungan diartikan dalam pengertian yang luas mencakup lingkungan yang ada di dalam dan di luar individu.[4]           Yang dimaksud lingkungan disini ialah segala sesuatu yang ada diluar diri anak yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan. Dalam pembicaraan pada bagian ini, maka pendidikan dimasukkan juga sebagai faktor lingkunga.
            Factor lingkungan juga disebut faktor ajar. Dengan demikian, lingkungan dapat berupa benda-benda, orang-orang, keadaan-keadaan dan peristiwa yang ada disekitar anak, yang bias memberikan pengaruh pada perkembangannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara sengaja atau ridak sengaja. Disamping lingkungan itu memberikan pengaruh dan dorongan, lingkungan juga merupakan arena yang memberikan kesempatan kepada kemungkinan-kemungkinan (bawaan) yang ada pada seseorang anak untuk berkembang.
            Berbeda dengan aliran Nativisme, para ahli yang mengikuti aliran ‘Empirisme’ berpendapat bahwa perkembangan itu sepenuhnya ditentukan oleh faktor lingkungan/pendidikan sedangkan faktor dasar/pembawaan tidak berpengaruh sama sekali.[5]         
            Aliran Empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704). Beliau mengtatakan bahwa pendidikan itu perlu sekali. Teori ini terkenal dengan teori Tabularasa. Menurut teori ini lingkunganlah yang menjadi penentu perkembangan seseorang. Karena baik buruknya perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan.
            Menurut pendapat kaum empiris, lingkunganlah yang maha kuasa dalam menentukan perkembangan pribadi seseorang oleh karena itu dalam ilmu pendidikan aliran ini disebut dengan aliran pedaogik optimisme artimya pendidikan maha kuasa untuk membentuk atau mengembangkan pribadi seseorang.

C. Konfergensi
            Aliran ini dipelopori oleh William Stem (1871-1938). Aliran ini mengakui kedua-duanya. Jadi pendidikan itu perlu sekali, tetapi semua ini terbatas karena bakat daripada anak didik. Aliran ini menjembatani atau menengahi kedua teori sebelumnya yang bersifat ekstrim yaitu teori Nativisme, sesuai dengan namanya Konvergensi yang artinya perpaduan, maka berarti teori ini tidak memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan.[6]
            Menurut Elizabeth B. Hurlock, baik faktor kondisi internal maupun faktor kondisi eksternal akan dapat mempengaruhi tempo/kecepatan dan sifat atau kualitas perkembangan seseorang. Tetapi sejauh mana kedua faktor tersebut sukar untuk ditentukan, lebih-lebih lagi untuk dibedakan mana yang penting dan kurang penting.[7]               
            Faham Konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan ataupun lingkungan memainkan peranan perting. Realitas menunjukkan bahwa warisan yang yang baik saja tanpa pengaruh lingkungan kependidikan yang baik tidak akan dapat membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya, walaupun lingkungan pendidikan itu baik, tidak akan menghasilakan lepribadian yang ideal juga. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu; akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Misalnya : Tiap manusia yang normal memiliki bakat untuk berdiri tegak atas kedua kaki; bakat ini tidak aktual (menjadi kenyataan) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Anak yang semenjak kecilnya diasuh oleh monyet maka ia tidak akan berdiri tegak diatas kedua kakinya ; mungkin dia akan berjalan dia akan berjalan diatas tangan dan kakinya (jadi seperti monyet).[8]


D. Alternatif pemikiran Islam
Definisi alternatif adalah definisi dialektis yang memadukan pengertian-pengertian yang menjadi kekuatan pada definisi maha luas dan definisi sempit, sekaligus menghilangkan kelemahan-kelemahannya.
Definisi alternatif merupakan definisi luas yang maknanya berisi berbagai macam pengalaman belajar dalam keseluruhan lingkungan hidup, baik di sekolah maupun di luar sekolah yang sengaja di selenggarakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini tujuan pendidikan. Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang saat ini, baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Kegelisahan yang dihadapai oleh Abdurrahman misalnya, yang dikutib dari Muhaimin, mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara dialektis metodis seperti halnya pengejaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasal dari filsafat penelitian model Barat, sehingga lebih menekankan pada “transisi pengetahuan agama”. Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
Para ahli di bidang pendidikan telah meneliti secara teoritis mengenai kegunaan filsafat Islam. Misalnya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany yang dikutip oleh Abudin Nata, mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut; Filsafat pendidikan dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melakukannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan. Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh. Filsafat pendidikan Islam akan mendorong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik di negara kita. Lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan akan bertugas sebagai; Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut, melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Tradisi atau iklim akademis yang kondusif perlu didukung oleh berbagai pihak dari mulai kebijakan pemerintah yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, fasilitas bisa berupa sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengwan anggaran pendidikan yang hal itu memperngaruhi pelaksanaan program pendidikan.
Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektul (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya.[9]





BAB III
PENUTUP

            Kesimpulan
            Pengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam hal ini terdapat aliran-aliran yaitu sebagai berikut :
a.       Narivisme yaitu menurut aliran ini pertumbuhan dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh bakat atau genetika (keturunan)
b.      Empirisme yaitu aliran ini berpendapat bahwa perkembangan itu sepenuhnya ditentukan oleh faktor lingkungan/pendidikan sedangkan faktor dasar/pembawaan tidak berpengaruh sama sekali
c.       Konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan ataupun lingkungan memainkan peranan perting. teori ini tidak memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan.
            Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh. Filsafat pendidikan Islam akan mendorong dalam memberikan pendalaman pikiran, memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut, melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Daftar Pustaka
Alisuf Sabri, Pengembangan psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. I
Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Imu Jaya, 1996, cet. II
Amir Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1973, cet. Ke-1
http://www.zonastudi.co.cc/2008/12/stkip-filsafat-pendidikan-islam_1768.html
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993, cet. VI        
           


       [1] Alisuf Sabri, Pengembangan psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. I, hal. 173
       [2] Amir Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1973), cet. Ke-1, hal. 83
       [3] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), cet. VI, hal. 185
       [4] Alisuf Sabri, op.cit., hal. 174
       [5] Ibid., hal. 173
       [6] Amir Dien Indrakusuma, Ibid., hal. 83
       [7] Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Imu Jaya, 1996), cet. II, hal. 173
       [8] Sumadi Suryabrata, Ibid., hal. 188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TULIS PESAN ANDA DISINI, THANK'S...