Jumat, 18 Februari 2011

fiqh muamalah (MAL)





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mal (harta)
a. Pengertian Mal (harta)
            Harta dalam bahasa Arab disebut al mal yang berasal dari kata مال - يميل- ميلا yang berarti condong, cenderung dan miring. Sedangkan harta (al mal) menurut istilah Imam Hanafiyah ialah:
     مايميل اليه طبع الأنسان ويمكن ادخاره الى وقت الحاجة
      “Sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.”
            Menurut Hanafiyah, harta mesti dapat disimpan, jika tidak bukan disebut harta, begitu juga manfaat juga tidak bisa disebut harta tapi milik. Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain. Sedangkan Harta ialah segaka sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta bisa dicampuri oleh orang lain dengan kata lain harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan).
            Menurut sebagian Ulama’ harta ialah:
     مايميل اليه طبع ويجري فيه البدل والمنع
      “Sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabi’atnya, baik manusia itu akan memberikannya atau menyimpannya.”
            Menurut sebagian Ulama’ lainnya harta ialah:
     كل عين دات قيمة ما دية متداولة بين الناس
      “Segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar diantara manusia.”
            Hasbi Ash-Shidieqy menyebutkan bahwa harta ialah nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjual belikandan berharga, konsekuensi logis perumusan ini adalah ialah:
1.      Manusia bukanlah harta sekalipun berwujud.
2.      Babi bukanlah harta karena babi bagi Muslimin haram diperjual belikan.
3.      Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut ‘urf.[1]

      b. Unsur-unsur Harta
            Harta meurut Fuqaha’ ada dua unsur, yaitu a. unsur ‘aniyah yaitu harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan).manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tapi termasuk milik atau hak b. unsure ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian, tidaklah manusia memeliharaaeauatu kecuali menginginkan manfaatnya.
            Berkenaan dengan harta pula, dijelaskan larangan-larangan yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi dalam hal ini meliputi produksi, distrbusi, dan konsumsi harta, larangan tersebut sebagai berikut:
a.       Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia, berupa; Memakan harta sesama manusia dengan cara batal, dengan jalan penipuan, melanggar janji dan sumpah, pencurian.
b.      Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau keseluruhan masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
c.       Penimbunan harta dengan jalan kikir.
d.      Aktivitas yang merupakan pemborosan (mubadzir).
e.       Memproduksi, menperdagangkan dan mengkonsumsi barang-barang yang terlarang seperti narkotika dan miras kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kesehatan.[2]
c. Pembagian Harta
Dalam pengertian umum harta dibagi menjadi dua bagian, yaitu materi dan non materi. Yang termasuk materi diantaranya adalah uang, perhiasan, tanah, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk non materi adalah deposito, HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), saham, dan sebagainya. Harta menurut fiqh Islam terbagi dalam banyak bagian, yang ditinjau dari berbagai segi, yang masing-masing bagian itu mempunyai ciri-ciri dan hukum sendiri. Maka harta itu dapat kita bagi menjadi 10 bagian yang mendasar, yaitu:
1. Mal Mutaqawwim (benda bernilai) dan ghairu mutaqawwim (benda tak bernilai)
2. Mal Mitsli (benda bercontoh) dan qimy (benda tak bercontoh)
3. Mal Istihlaki (benda yang habis pakai) dan ghairu istihlaki (benda tak habis pakai)
4. Mal manqul (benda bergerak) dan ghairu manqul (benda tak bergerak)
5. Mal khass (milik pribadi) dan mal ‘amm (milik umum)
6. Mal ‘usul (pokok) dan mal simar (hasil)
7. Mal Mamluk (benda yang ada pemiliknya) dan mal mubah (benda tak bertuan).
8. Mal qabilul lil qismah (harta yang dapat dibagi) dan mal ghairu qabilil lil qismah (harta yang tidak dapat dibagi).
Menurut Hanafiyah, yang termasuk harta diam hanya tanah saja. Sedangkan Malikiyah menganggap harta diam meluas kepada segala yang melekat dengan tanah secara permanen, seperti tanaman dan bangunan. Sebab keduanya tak mungkin dipindahkan, kecuali harus dipindahkan bangunannya menjadi hancur, dan tanaman berubah menjadi kayu bakar.[3]

B.   Hak Milik
a. Pengertian Hak milik
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
            Menurut pengertian umum, hak ialah:
     احتصاص يقرربه الشرع سلطة او تكليفا
      “Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau beban hukum.”
            Pengertian hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul  yaitu:
      مجموعة القواعدوالنصوص الشرعية التى تنتظم على سبيل الالزام علاﺌق الناس من حيث الاشخاص والأموال
      “Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenal orang maupun mengenai harta.”
            Ada juga hak yang didefinisikan sebagai berikut:
      السلطة على الشيء اومايجيب على شخص لغيره
      “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya.”
            Milik dalam buku Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, didefinisikan sebagai berikut:
     اختصاص يمكن صاحبه شرعا ان يستدبالتصرف والأنتفاع عند عدم المانع الشرعي
      “Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil menfaatnya selama tidak ada penghalang Syar’i.”
            Apabila seseorang telah memiliki suatu yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun perantara orang lain.[4]
            Hak adakalanya merupakan Sulthah adakalanya Taklif.
      a. Sulthah terbagi dua.
         1. Sulthah ‘ala al-Nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadlanah (pemeliharaan anak)
         2.  Sulthah ‘ala syaiin mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.
b. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan pribadi (ahdah syakshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang.[5]
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Para Fuqoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).[6]
b. Jenis-jenis Kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para Fuqoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.[7]
c. Sebab-Sebab Kepemilikan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu:
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan,
(2) akad,
(3) penggantian dan
(4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.
Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya. b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad.
Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu
(i)     Belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya."
(ii)   Brang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu :
a)  Kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b)  Kepemilikan karena berburu atau memancing
c) Rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
d)   Kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.[8]

BAB III
PENUTUP

            Alhamdulillah, akhirnya makalah ini bias selesai tepat pada waktunya, meskipun penyusun menyadari masih banyak sekali kesalahan dalam tata cara penulisan, pengetikan dll.

      Daftar Pustaka
Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), cet. I
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), cet. II
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, M.A, Garis-Garis Besar FIQH, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. II
www.///fiqhsyariat.com, didownload pada hari sabtu, 28 maret 2010
     
     
           



       [1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), cet. II, hal. 9
       [2] Amir Syarifuddin, Garis-Garis BesarFIQH, (Jakarta:Prenada Media, 2005), cet. II, hal. 177
       [3] www.///fiqhsyariat.com, didownload pada hari minggu, 28 maret 2010. pukul 16.24 WIB.
       [4] Hendi Subendi, Op.cit., hal.33
       [5] Ibid. hal. 34
       [6] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), cet. I, hal. 24
       [7] Ibid, hal. 29
       [8] www.///fiqhsyariat.com, didownload pada hari minggu, 28 maret 2010. pukul 17.02 WIB.

nativisme, empirisme dan konvergensi


“Nativisme, Empirisme dan Konfergensi”

Makalah Ini Dibuat Sebagai Bahan Diskusi Kelas Dalam Mata Kuliah
“Filsafat Pendidikan”
stai.bmp                                                                                                 










Disusun Oleh :
M. Arif Nurul Huda
NIM: 08.1. 209
Fitria Nur Ulfa
NIM: 09.1.
Dosen Pembimbing:
Drs. HM. Alisuf Sabri


Tarbiyah (PAI)
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
AL-HIKMAH JAKARTA
STATUS : TERAKREDITASI NO. 036/BAN-PT/Ak-VII/S.1/X/2003
     Jl. Jeruk Purut No. 10 Cilandak Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan 12560.
Tlp. Fax. (021) 7890521
2010
 BAB I
PENDAHULUAN

         1. Latar Belakang
            Aliran-aliran pendidikan telah dimaulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalm kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai kini. Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah aliran empirisme, nativisme, dan konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

2. Tujuan Pembahasan
            Setelah teman teman mahasiswa mempelajari dan mendiskusikan makalah ini diharapkan mampu; 1) Mengetahui pengertian tentang aliran empirisme, nativisme, dan konvergensi 2) Memahami dan menyimpulkan aliran empirisme, nativisme, dan konvergensi.











BAB II
PEMBAHASAN

A. Narivisme (pembawaan)
            ‘Pembawaan adalah potensi-potensi yang dibawa setiap individu ketika lahir yang merupakan warisan dari orang tua’. Para ahli yang beraliran Nativisme nerpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh unsur pembawaan. Jadi perkembangan individu semata-mata tergantung kepada faktor dasar/pembawaan.[1]                
            Aliran Nativisme dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1778-1860), dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa bakat mempunyai peranan yang penting. Ridak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelek. Sehingga pendidikan diumpamakan ‘merubah emas jadi perak’ jadi suatu hal yang tidak mungkin.
            Dengan demikian faktor lingkungan atau pendidikan menurut aliran ini tidak bisa berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang. Dalam pendidikan ilmu aliran inidikenal sesbagai aliran pedagogik pesivisme yaitu pendidikan yang tidak dapat dipengaruhi perkembangan anak ke arah kedewasaan yang dikehendaki oleh pendidik.[2]
            Para ahli yang mengikuti pendirian ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang Tua dan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka kemungkinannya adalah besar anaknya juga akan menjadi ahli musik, jika orang tua ahli melukis maka besar kemungkinan anaknyapun ahli dalam melukis.[3] Mungkin penyusun disini bisa mengibaratkan seperti ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’.
B. Empirisme (lingkungan)
            ‘Lingkungan sering diartikan orang secara sempit dengan alam sekitar. Dalam psikologi, lingkungan diartikan dalam pengertian yang luas mencakup lingkungan yang ada di dalam dan di luar individu.[4]           Yang dimaksud lingkungan disini ialah segala sesuatu yang ada diluar diri anak yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan. Dalam pembicaraan pada bagian ini, maka pendidikan dimasukkan juga sebagai faktor lingkunga.
            Factor lingkungan juga disebut faktor ajar. Dengan demikian, lingkungan dapat berupa benda-benda, orang-orang, keadaan-keadaan dan peristiwa yang ada disekitar anak, yang bias memberikan pengaruh pada perkembangannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara sengaja atau ridak sengaja. Disamping lingkungan itu memberikan pengaruh dan dorongan, lingkungan juga merupakan arena yang memberikan kesempatan kepada kemungkinan-kemungkinan (bawaan) yang ada pada seseorang anak untuk berkembang.
            Berbeda dengan aliran Nativisme, para ahli yang mengikuti aliran ‘Empirisme’ berpendapat bahwa perkembangan itu sepenuhnya ditentukan oleh faktor lingkungan/pendidikan sedangkan faktor dasar/pembawaan tidak berpengaruh sama sekali.[5]         
            Aliran Empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704). Beliau mengtatakan bahwa pendidikan itu perlu sekali. Teori ini terkenal dengan teori Tabularasa. Menurut teori ini lingkunganlah yang menjadi penentu perkembangan seseorang. Karena baik buruknya perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan.
            Menurut pendapat kaum empiris, lingkunganlah yang maha kuasa dalam menentukan perkembangan pribadi seseorang oleh karena itu dalam ilmu pendidikan aliran ini disebut dengan aliran pedaogik optimisme artimya pendidikan maha kuasa untuk membentuk atau mengembangkan pribadi seseorang.

C. Konfergensi
            Aliran ini dipelopori oleh William Stem (1871-1938). Aliran ini mengakui kedua-duanya. Jadi pendidikan itu perlu sekali, tetapi semua ini terbatas karena bakat daripada anak didik. Aliran ini menjembatani atau menengahi kedua teori sebelumnya yang bersifat ekstrim yaitu teori Nativisme, sesuai dengan namanya Konvergensi yang artinya perpaduan, maka berarti teori ini tidak memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan.[6]
            Menurut Elizabeth B. Hurlock, baik faktor kondisi internal maupun faktor kondisi eksternal akan dapat mempengaruhi tempo/kecepatan dan sifat atau kualitas perkembangan seseorang. Tetapi sejauh mana kedua faktor tersebut sukar untuk ditentukan, lebih-lebih lagi untuk dibedakan mana yang penting dan kurang penting.[7]               
            Faham Konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan ataupun lingkungan memainkan peranan perting. Realitas menunjukkan bahwa warisan yang yang baik saja tanpa pengaruh lingkungan kependidikan yang baik tidak akan dapat membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya, walaupun lingkungan pendidikan itu baik, tidak akan menghasilakan lepribadian yang ideal juga. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu; akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Misalnya : Tiap manusia yang normal memiliki bakat untuk berdiri tegak atas kedua kaki; bakat ini tidak aktual (menjadi kenyataan) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Anak yang semenjak kecilnya diasuh oleh monyet maka ia tidak akan berdiri tegak diatas kedua kakinya ; mungkin dia akan berjalan dia akan berjalan diatas tangan dan kakinya (jadi seperti monyet).[8]


D. Alternatif pemikiran Islam
Definisi alternatif adalah definisi dialektis yang memadukan pengertian-pengertian yang menjadi kekuatan pada definisi maha luas dan definisi sempit, sekaligus menghilangkan kelemahan-kelemahannya.
Definisi alternatif merupakan definisi luas yang maknanya berisi berbagai macam pengalaman belajar dalam keseluruhan lingkungan hidup, baik di sekolah maupun di luar sekolah yang sengaja di selenggarakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini tujuan pendidikan. Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang saat ini, baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Kegelisahan yang dihadapai oleh Abdurrahman misalnya, yang dikutib dari Muhaimin, mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara dialektis metodis seperti halnya pengejaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasal dari filsafat penelitian model Barat, sehingga lebih menekankan pada “transisi pengetahuan agama”. Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
Para ahli di bidang pendidikan telah meneliti secara teoritis mengenai kegunaan filsafat Islam. Misalnya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany yang dikutip oleh Abudin Nata, mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut; Filsafat pendidikan dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melakukannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan. Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh. Filsafat pendidikan Islam akan mendorong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik di negara kita. Lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan akan bertugas sebagai; Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut, melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Tradisi atau iklim akademis yang kondusif perlu didukung oleh berbagai pihak dari mulai kebijakan pemerintah yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, fasilitas bisa berupa sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengwan anggaran pendidikan yang hal itu memperngaruhi pelaksanaan program pendidikan.
Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektul (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya.[9]





BAB III
PENUTUP

            Kesimpulan
            Pengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam hal ini terdapat aliran-aliran yaitu sebagai berikut :
a.       Narivisme yaitu menurut aliran ini pertumbuhan dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh bakat atau genetika (keturunan)
b.      Empirisme yaitu aliran ini berpendapat bahwa perkembangan itu sepenuhnya ditentukan oleh faktor lingkungan/pendidikan sedangkan faktor dasar/pembawaan tidak berpengaruh sama sekali
c.       Konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan ataupun lingkungan memainkan peranan perting. teori ini tidak memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan.
            Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh. Filsafat pendidikan Islam akan mendorong dalam memberikan pendalaman pikiran, memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut, melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
Daftar Pustaka
Alisuf Sabri, Pengembangan psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. I
Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Imu Jaya, 1996, cet. II
Amir Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1973, cet. Ke-1
http://www.zonastudi.co.cc/2008/12/stkip-filsafat-pendidikan-islam_1768.html
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993, cet. VI        
           


       [1] Alisuf Sabri, Pengembangan psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. I, hal. 173
       [2] Amir Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1973), cet. Ke-1, hal. 83
       [3] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), cet. VI, hal. 185
       [4] Alisuf Sabri, op.cit., hal. 174
       [5] Ibid., hal. 173
       [6] Amir Dien Indrakusuma, Ibid., hal. 83
       [7] Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Imu Jaya, 1996), cet. II, hal. 173
       [8] Sumadi Suryabrata, Ibid., hal. 188